Tujuh Wisata Religi yang Harus Dikunjungi di Kota Madani
Jalan-jalan ke Aceh sungguh kurang lengkap tanpa berkunjung ke ragam tempat wisata yang terdapat di Kota Banda Aceh. Ibu kota provinsi yang berjuluk Kota Madani ini sedang giat-giatnya menggalakkan sektor wisata dengan menawarkan begitu banyak situs menarik. Sebagai kota yang berkomitmen menegakkan syariat Islam secara kaffah, Banda Aceh memiliki sejumlah wisata religi yang mengajak kita memahami betapa madani-nya daerah yang pernah dikenal dengan nama Kuta Radja ini.
Nah, pada cerita Jalan-Jalan kali ini, saya ingin menawarkan 7 wisata religi yang patut teman-teman masukkan dalam daftar destinasi prioritas kunjungan selama berada di Kota Madani. Apa saja? Ini dia!
1. Mesjid Raya Baiturrahman
Mesjid yang terletak di jantung kota Banda Aceh ini tentu tak asing lagi di kalangan penikmat jalan-jalan. Lokasinya tepat di tengah kota dengan menara yang menjulang megah saat kita nikmati dari sisi Jembatan Pante Pirak, Simpang Lima.
Mesjid Raya yang kadang disingkat dengan sebutan manis ‘Mesra Baiturrahman’ ini memiliki 7 kubah. Sebagian literatur mencatat bahwa mesjid ini dibangun pada tahun 1612 M, di masa kesultanan Iskandar Muda. Pernah dibakar oleh tentara Belanda pada tahun 1873 M, dan dibangun kembali di lokasi yang sama setelah enam tahun kemudian (1879 M). Wah, sudah sangat tua!
Mesjid ini kaya akan nilai sejarah. Di salah satu bagian pekarangan mesjid, tepatnya di bawah pohon Ketapang, teman-teman akan menemukan sebuah prasasti yang mengabadikan riwayat kematian jenderal Belanda, J.H.R. Kohler bersama 400 pasukannya.
Berkunjung ke Mesjid Raya Baiturrahman tidak hanya memberikan kedamaian bagi teman-teman muslim yang ingin beribadah, tetapi juga menyajikan keindahan arsitektur yang menyegarkan mata. Dibangun dengan arsitektur bercorak eklektik yang rancangannya dilakukan oleh seorang kapten zeni angkatan darat Belanda, de Bruijin. Tak salah jika mesjid ini termasuk salah satu mesjid terindah di Asia Tenggara.
Untuk teman-teman non muslim yang ingin berkunjung, mesjid kebanggaan masyarakat Aceh ini sangat terbuka dan boleh dikunjungi asalkan berpakaian sopan menutup aurat. Ini sebagai wujud penghormatan terhadap tempat ibadah. Waktu yang menyenangkan untuk mengunjungi mesjid ini adalah di sore hari. Kita dapat menyaksikan anak-anak Taman Pengajian al-Quran (TPQ Plus Baiturrahman) mempelajari al-Quran di dalam mesjid. Momen yang sangat membahagiakan sekaligus menentramkan.
2. Mesjid Baitul Musyahadah
Yang menjadi daya tarik mesjid yang satu ini apalagi kalau bukan arsitekturnya. Mesjid Baitul Musyahadah memiliki kubah yang khas dan ‘Aceh Banget!’. Bentuk kubahnya berupa replika topi khas Aceh yang disebut Kupiah Meukutop. Tak heran jika mesjid ini juga dikenal dengan sapaan akrab ‘Mesjid Meukeutop’.
Bagi masyarakat Aceh, bentuk Kupiah Meukeutop memiliki nilai adat dan filosofi yang sangat tinggi. Warna-warni kupiah melambangkan unsur kerajaan, agama Islam, dan nilai kepahlawanan. Demikian juga tiap tingkatan teratak tangga pada kupiah, menyimbolkan hukum Islam, adat istiadat, reusam, dan qanun. Kupiah Meukutop di Mesjid Baitul Musyahadah bukan hanya terdapat di kubah utamanya saja, tetapi juga di puncak 3 pintu gerbang mesjid dan di bagian dalam mesjid, tepatnya di dekat mimbar.
Nuansa ‘Aceh Banget!’ di mesjid ini tidak terbatas pada adanya Kupiah Meukeutop semata tetapi juga terdapat ornamen pintu aceh yang tersebar di pintu besi sekeliling mesjid dan di dinding depan mesjid.
Menurut keterangan Imam Besar yang saya jumpai, mesjid ini dibangun secara swadaya pada tahun 1989 M. Mulanya bernama mesjid Al Ikhlas. Perencanaan pembangunan dan ide rancangan arsitekturnya dilakukan oleh Prof. Ali Hasjmy, salah seorang cendekiawan terkemuka di Aceh.
Tahun 1993 M, mesjid ini diubah namanya menjadi Mesjid Baitul Musyahadah dan diresmikan langsung oleh Gubernur Aceh, Syamsuddin Mahmud, didampingi KH. Zainuddin MZ. Mesjid berbentuk segi 5 menyimbolkan 5 rukun Islam yang senantiasa harus ditegakkan. Kupiah Meukutop dipilih karena ingin mengabadikan semangat juang pahlawan Aceh, Teuku Umar.
Lantas, dimanakah letak mesjid yang ‘Aceh Banget!’ ini? Mesjid Baitul Musyahadah terletak di Jln. Teuku Umar, Setui. Tepatnya di seberang Suzuya Mall, Banda Aceh.
3. Mesjid Baiturrahim
Menceritakan mesjid ini kerap memancing hela napas panjang. Saat tsunami menyapu Banda Aceh jelang penghujung Desember 2004 silam, mesjid ini merupakan satu-satunya bangunan yang tersisa dan tegak berdiri di kawasan Ulee Lheue. Mesjid Baiturrahim menjadi saksi kedahsyatan gelombang amuk tsunami. Karenanya, mengunjungi mesjid ini adalah sekaligus mengunjungi situs ziarah tsunami di Aceh.
Mesjid Baiturrahim merupakan mesjid peninggalan sultan Aceh abad ke-17. Awalnya bernama Mesjid Jamik Ulee Lheue. Pada tahun 1873 M ketika Mesjid Raya Baiturrahman dibakar Belanda, mesjid ini digunakan oleh para jamaah untuk melaksanakan shalat jumat. Sejak saat itu namanya menjadi Mesjid Baiturrahim. Sebagian dari arsitektur mesjid ini, terutama bangunan bagian depan, dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda yang memberikan sentuhan arsitektur bergaya Eropa.
Bagi teman-teman yang ingin berkunjung, Mesjid ini letaknya tepat di bundaran Ulee Lheue Kecamatan Meuraxa sebelah kiri, arah menuju pelabuhan kapal feri. Demi merawat ingatan terhadap bencana tsunami yang maha dahsyat, di Mesjid Baiturrahim ini disediakan ruang khusus tempat memajang foto-foto peristiwa tsunami.
4. Kuil Palani Andawer
Kota ini bukan hanya menarik karena memiliki banyak bangunan mesjid megah nan bersejarah, tetapi juga karena menyediakan tempat ibadah yang layak untuk umat non muslim lainnya. Salah satu wujudnya adalah tegak dan terjaganya Kuil Palani Andawer di Desa Keudah, Kecamatan Kuta Radja.
Kuil yang bernama lengkap Maha Kumbha Abhisegam Palani Andawer ini berdiri sejak tahun 1934 M. Merupakan satu-satunya kuil Hindu di Aceh, tempat beribadah kurang lebih 600-an umat Hindu yang tersebar di Banda Aceh dan Aceh Besar. Saat tsunami menyapu Banda Aceh akhir Desember 2004, kuil ini turut hancur. Dibangun dan disucikan kembali pada April 2012 dengan kucuran dana dari Kemenag provinsi dan BRR, ditambah sumbangan dari kalangan umat Hindu sendiri.
Penjaga kuil (yang dalam istilah Hindu disebut Aire) ini bernama Radha Krisna. Keturunan Hindu Tamil yang lahir, tumbuh, dan menetap di Aceh. Radha Krisna sangat ramah. Dengan ringan ia akan menjelaskan apa saja hal yang ingin teman-teman ketahui seputar kuil dan umat Hindu. Radha Krisna dan keluarganya tinggal di ruko tepat di depan kuil sehingga tak sulit ditemui.
Kuil ini bukan hanya diperuntukkan bagi umat Hindu Tamil, tapi juga umat Hindu Bali dan Karo. Di dalam kuil terdapat 6 arca yang didatangkan langsung dari India. Pada sisi kanan dan kiri dinding terdapat arca relief kisah hidup Dewa Murugan. Ada juga arca Dewa Ganesha dan altar burung merak.
Karena memiliki bentuk yang khas, kuil ini sangat mudah ditemukan. Lokasinya di Desa Keudah tepat di pinggir jalan, arah menuju Desa Peulanggahan.
5. Mesjid Tgk Di Anjong
Berjalan lurus melewati Kuil Palani Andawer, dengan jarak cukup 10 menit berjalan kaki, kita akan sampai di mesjid bersejarah lainnya. Mesjid ini dikenal dengan nama Mesjid Tengku Di Anjong. Terletak di Gampong Peulanggahan, Kecamatan Kuta Radja.
Atap mesjid ini bertingkat-tingkat tanpa kubah. Mengingatkan pada arsitektur khas jawa. Dibangun pada abad ke-18 oleh Sayyid Abu Bakar bin Husein Bafaqih, saudagar asal Arab yang merantau untuk berdagang tapi kemudian turut menyebarkan agama Islam di tanah Aceh. Gelar karamah Tengku Chik Di Anjong lantas diberikan untuknya, sekaligus diabadikan sebagai nama mesjid. Riwayat ini terukir di salah satu prasasti yang terdapat dalam pekarangan mesjid.
Jasad Tengku Chik Di Anjong juga dimakamkan di komplek mesjid ini, berdampingan dengan makam-makam keluarganya dan para ulama asal Arab terdahulu. Keberadaan makam ini menjadikan Mesjid Teungku Di Anjong bukan hanya sebagai situs wisata religi tetapi juga situs wisata sejarah. Bahkan ada literatur yang menyebut bahwa mesjid ini pernah digunakan oleh Teuku Umar, pahlawan Aceh, untuk “bersumpah” saat menyamar ikut bersama Tentara Belanda.
Selain makam dan prasasti yang memuat riwayat pendirian mesjid, di pekarangan mesjid juga terdapat tugu untuk mengenang peristiwa tsunami. Di sisi kanan mesjid, dibangun sebuah prasasti lain berbentuk makam yang mengabadikan nama-nama masyarakat Peulanggahan yang hilang dibawa tsunami.
6. Vihara Dharma Bhakti
Bangunan lain yang menjadi saksi nyata betapa komitmen melaksanakan syariat Islam di Banda Aceh bukanlah ancaman bagi masyarakat non muslim adalah keberadaan vihara (kelenteng), tempat ibadah etnis Tionghoa yang beragama Budha. Terdapat 4 vihara di Banda Aceh di seputaran Peunayong: Vihara Sakyamuni, Vihara Dewi Samudera, Vihara Maitri dan Vihara Dharma Bhakti. Keempat vihara tersebut memiliki aliran yang berbeda-beda tetapi tetap berada di bawah naungan Budhayana.
Vihara Dharma Bhakti merupakan kelenteng tertua dan terbesar di Banda Aceh. Berlokasi di Jalan Teuku Panglima Polem Nomor 70, Peunayong, yang merupakan pusat perdagangan dan dikenal sebagai Kampung Cina-nya Banda Aceh. Dharma Bhakti dibangun tahun 1936 M dengan nama Ta Pek Kong, salah satu dewa yang namanya juga tertulis di kuningan wadah dupa dalam vihara ini. Ketika itu bentuknya masih berupa rumah kayu beratap seng. Setelah tahun 1960 M, dibangun dengan bahan beton oleh mendiang China Ho Kian bernama Fung Chung Min.
Vihara ini terlihat menyolok diantara barisan pertokoan lainnya. Dikelilingi oleh pagar tembok berwarna putih dengan pintu merah pekat. Lampion merah khas etnis tionghoa bergantungan, tetap dapat dilihat meski pagar vihara tertutup. Replika dua naga yang dipisahkan oleh bola api terdapat di atap bagian depan vihara. Ada tujuh lampu penerangan di vihara ini. Lima di altar utama, satu di altar Dewa Tanah yang terdapat di sudut kiri ruangan dalam, dan satu lagi di altar luar.
Dalam Vihara ini terdapat sebelas dewa yang diletakkan dalam bingkai kaca. Salah satunya adalah patung Dewa Se Mien Fo yang memiliki wajah empat penjuru mata angin yang akan kita jumpai begitu memasuki gerbang vihara. Umat yang datang ke vihara ini akan berdoa sesuai keyakinan terhadap dewanya masing-masing.
Berkunjung ke Vihara ini kurang lengkap tanpa bertemu dengan Herman, ketua Vihara yang akan menuturkan sejarah vihara dan siap melayani pertanyaan apa pun tentang cikal-bakal pertautan etnis Tionghoa dengan Aceh. Vihara dibuka setiap hari, dari pukul 6 pagi sampai pukul 6 sore. Tetapi jika ingin bertemu dengan Ketua Vihara, teman-teman sebaiknya datang sore hari. Jika Vihara telah ditutup, Herman dapat dijumpai di belakang Vihara.
7. Gereja Khatolik Paroki Hati Kudus
Selain penganut Islam, Hindu, dan Budha, di Banda Aceh juga terdapat umat kristiani. Demi menjamin kebebasan umat kristiani dalam menjalankan ibadahnya, di Banda Aceh terdapat 4 gereja: 1 gereja khatolik, 2 gereja protestan, dan 1 gereja methodist.
Gereja Khatolik Paroki Hati Kudus merupakan tempat pelaksanaan misa penganut kristen khatolik yang tergolong bangunan kuno di Banda Aceh. Dibangun dengan arsitektur bergaya neo klasik dengan luas mencapai 168 m2. Gereja ini kaya akan nilai sejarah dan dikepalai oleh Pastor Hermanus Saha. Saat saya berkunjung, Pastor sedang ke luar kota. Tapi jangan khawatir, informasi seputar gereja juga bisa kita dapatkan dari petugas sekretariat yang bertempat di bangunan belakang gereja. Di sebelah gedung sekretariat, terdapat sekolah taman kanak-kanak kristen.
Menurut keterangan petugas sekretariat, gereja ini memiliki ketinggian 12 meter. Selain bangunan utama, Paroki Hati Kudus juga memiliki menara dengan tinggi mencapai 12 meter. Konon, gereja ini disebut-disebut termasuk salah satu gereja terindah di Indonesia. Memiliki lantai keramik berbentuk mozaik warna-warni dan lonceng yang didatangkan khusus dari Belanda. Saat gempa dan tsunami menghantam Banda Aceh, gereja ini termasuk rumah ibadah yang tidak roboh. Hanya bagian depan gereja yang mengalami sedikit kerusakan.
Paroki Hati Kudus resmi dipakai sejak tahun 1926 M. Saat perayaan paskah 18 April lalu, di gereja ini wafatnya Yesus Kristus turut diperingati dengan pelaksanaan teatrikal Prosesi Jalan Salib (Via Dolorosa).
Gereja ini terletak di jalan Jendral Ahmad Yani 2, Banda Aceh, hanya 10 meter dari Sungai Krueng Aceh, di sebelah Markas Komando Daerah Militer Iskandar Muda. Di sisi kanan gereja terdapat patung gajah putih yang disebut-sebut sebagai kendaraan kebanggaan Sultan Iskandar Muda tempo dulu. Dari jalan seberang gereja, kita akan melihat menara Mesjid Raya Baiturrahman menjulang megah.
Nah, itulah ke-7 situs wisata religi menarik yang harus teman-teman kunjungi selama jalan-jalan di Kota Madani. Kiranya teman-teman pernah digalaukan oleh berita miring tentang betapa mengerikannya pelaksanaan syariat Islam di Banda Aceh, sampai teman-teman memilih untuk mencoret kota para raja ini dari list destinasi wisata, sebaiknya tunggu dulu! Banda Aceh tidak seseram itu. Berkunjung ke Banda Aceh, berbicara dengan warga kota dari bermacam etnis dan agama, teman-teman akan menemukan indahnya toleransi yang bukan basa-basi. Mari, buktikan sendiri Madani-nya kota ini melalui wisata religi. [Riza Rahmi]
* Tulisan ini memenangkan juara pertama lomba Banda Aceh Blog Competition 2014. Tulisan dimuat kembali sesuai sumbernya: www.rizarahmi.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar